Jalan Seba Warga Baduy
Oleh Ubaidilah Muchtar
Foto: Fathul Rizkoh
Warga Baduy atau Warga Kanekes atau dikenal juga dengan Masyarakat Rawayan adalah kelompok masyarakat Sunda yang menjalani kehidupan secara tradisonal. Warga Baduy tinggal di daerah-daerah terpencil di daerah hutan wilayah pedesaan Kabupaten Lebak. Sebagian mereka menyebut dirinya sebagai masyarakat Desa Kanekes. Penyebutan “Baduy” merupakan sebutan dari masyarakat luar Kanekes. Penyebutan “Baduy” sebenarnya tidak mereka sukai namun karena sudah meluas pada akhirnya mereka tidak dapat menolak. Mereka menyebut dirinya sebagai orang Rawayan atau Orang Kanekes.
Dari beberapa sumber didapatkan asal mula penyebutan Baduy. Baduy diambil dari nama tempat yaitu Sungai Cibaduy. Di tepian sungai inilah orang-orang tinggal dan kemudian menyebut nama orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah itu disebut orang Baduy. Istilah Baduy juga merujuk kepada nama pohon yang banyak ditemukan di wilayah sekitar mereka tinggal, pohon Baduyut. Dari pohon itulah kemudian penyebutan nama Baduy diluaskan. Keterangan lain menyebutkan bahwa kata Baduy diambil dari kata Budha yaitu agama yang dianut oleh Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. Dari kata Budha lama-lama menjadi Baduy dan dijadikan nama masyarakat keturunan Prabu Siliwangi yang masih tinggal di pedalaman. Terdapat pula keterangan yang menyembutkan bahwa kata Baduy berasal dari masyarakat Badui di Arab Saudi yang tinggal di pinggiran kota dan hidup secara tradisional serta masih terbelakang secara ekonomi, politik, dan sosial. Istilah Badui berubah dalam lidah orang Sunda menjadi Baduy.
Ada beberapa pendapat yang menerangkan asal usul warga Kanekes. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada awalnya masyarakat Kanekes merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari para Punggawa Kerajaan Pajajaran abad 16 yang menyingkir dari kerajaan karena datangnya Islam ke Banten melalui pantai utara Cirebon. Para Punggawa Kerajaan Pajajaran tersebut menyingkir ke wilayah Pegunungan Kendeng. Pendapat kedua menyatakan bahwa warga Kanekes berasal dari kelompok pengungsi yang terdesak gerakan perluasan wilayah kekuasaan Islam dari Kesultanan Banten. Mereka menganut Hindu dan pada mulanya menetap di sekitar Gunung Pulosari Pandeglang. Ketiga, mereka sejak dahulu leluhur mereka tinggal dah hidup di wilayah Kanekes. Mereka menolak pendapat yang menyatakan bahwa mereka adalah masyarakat yang menyingkir. Tiga kampung utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Perkampungan mereka menampati wilayah subur dengan menanam padi sistem sawah kering.
Sebagai bukti nyata kesetiaan dan ketaatan kepada pemerintah, warga Baduy melaksanakan acara Seba. Seba dilaksanakan setiap tahun dengan cara mendatangi kepala pemerintahan (Bupati Lebak dan Gubernur Banten). Seba berarti kunjungan resmi. Menurut Djoewisno (1987) Seba adalah rangkaian ritual adat masyarakat Baduy yang dilaksanakan selepas Kawalu dan Ngalaksa. Rangkaian acara secara terperinci serta persiapan yang matang disamping harus berpedoman pada Peraturan Adat dan orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah kepercayaan Puun atas nama warganya memberikan laporan kepada Pemerintah sekaligus menjembatani komunikasi.
Tujuan upacara Seba secara umum adalah mengharapkan keselamatan, pernyataan rasa syukur kepada Tuhan bahwa selama setahun masyarakat Baduy mampu mempertahankan religi dan tradisi leluhur mereka. Adapun tujuan khusus diadakan upacara Seba yaitu membawa amanat Puun, memberikan laporan selama satu tahun di daerahnya, menyampaikan harapan, menyerahkan hasil bumi, dan mempererat ikatan tali silaturahmi secara formal kepada Bapak/Ibu Gede.
Penyelenggaraan Seba telah diperhitungkan waktunya secara matang dan disepakati para jaro, warga masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, pimpinan pemerintahan mulai dari pemerintah kecamatan, kabupaten sampai ke tingkat provinsi. Tempat penyelenggaraan upacara yang termasuk dalam rangkaian upacara Seba antara lain, rute perjalanan dari Desa Kanekes ke kantor Bupati Lebak (Pendopo), dan berakhir di kantor Gubernur Banten, Pada umumnya, setiap upacara Seba, melibatkan Jaro Tujuh sebagai perwakilan masyarakat Baduy, Jaro Warega sebagai utusan khusus Puun, dan jaro Pamarentah (Kepala Desa Kanekes sebagau pelaksana upacara Seba). Selain itu para Dangka, Pemangku adat, tokoh masyarakat, kokolot desa, serta kaum muda (para pemuda) sebagai generasi pelanjut upacara di masa yang akan datang. Sebelum upacara Seba dimulai, para tetua adat menyeleksi warga Baduy yang akan turut dalam pelaksanaan upacara. Pemilihan warga yang akan turut dalam Seba perlu dilakukan, mengingat pada pelaksanaanya bagi warga Baduy Kajeroan (Baduy Tangtu) akan berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh dari watu berangkat dan pulang (kurang lebih 80 km). Namun bagi warga Baduy luar (Baduy Panamping) diperbolehkan menggunakan kendaraan.
Jalannya upacara Seba diamati oleh para tetua adat. Saat upacara berlangsung tidak berbasa basi dalam menyampaikan kata-kata, tetapi tegas, jujur, tepat dan jelas. Tidak menutupi yang buruk dan tidak memamerkan yang baik. Kewajiban para pemuda sebagai pengemban amanat pusaka untuk tidak menyimpang dari tujuan. Tokoh Adat mengatur tata cara yang bertumpu pada pakem, larangan dan pantangan, keharusan, sejak berangkat hingga sampai di tempat tujuan.
Acara Seba diawali dengan pengucapan tatabean oleh Tanggungan Jaro Duabelas, yakni wakil para tetua adat Baduy. Tatabean adalah ucapan seserahan warga Baduy kepada bupati. Disebut tatabean karena diawali kata “tabe”, yakni ucapan sopan santun sebelum bertutur kata. Tatabean disampaikan dalaam bahasa asli Baduy yang diwariskan turun-temurun. Diantara isinya adalah melaporkan keadaan warga Baduy. Apakah kondisi mereka sehat, panen bagus, lingkungan aman, dan sebagainya. Setelah Tanggungan Jaro Duabelas selesai menyampaikan laporan, acara dilanjutkan dengan dialog. Pada kesempatan itu, Ibu/Bapak Bupati mengucapkan banyak terima kasih kepada warga Baduy. Sebab mereka telah menjaga hutan dengan sangat baik. Karena itu lingkungan hidup warga Baduy tetap terjaga. Acara ditutup dengan penyerahan hasil bumi Baduy kepada Bupati, sebaliknya Bupati pun menyerahkan bingkisan kepada wakil warga Baduy.
Upacara Seba menunjukkan sikap hidup harmoni, masyarakat Baduy tidak mengenal konflik di antara mereka. Mereka saling menghargai dan menghormati, bukan hanya di antara mereka tetapi terhadap semua orang dan bahkan menghormati lingkungan mereka. Masalah apapun yang dihadapi anggota masyarakat dapat diselesaikannya. Saling menghargai, menghormati dan memahami di antara anggota masyarakat Baduy sampai sekarang masih dipegang teguh, sehingga kehidupan harmoni mereka sampai sekarang masih dapat diwujudkan. Peran Puun sangat menentukan, sehingga tidak ada anggota masyarakat yang tidak menyetujui. banyak falsafah hidup mereka yang sanagat baik, yakni mentaati semua adat yang berlaku tanpa perkecualian atau mengurangi dan menambah.
Kebudayaan masyarakat Kanekes yang masih asli jika dilihat dalam konteks pergaulan jaman sekarang adalah upaya mereka yang dengan gigihnya menjaga supaya tidak hanyut oleh derasnya arus komunikasi. Oleh karena itu, kepada berbagai pihak baik pemerintah maupun masyarakat luas, agar menghormati pilihan hidup mereka. Berupaya memandang mereka sebagaimana layaknya manusia yang normal, karena memang sejatinya mereka adalah manusia yang normal dan mandiri. Dengan cara pandang seperti ini, maka akan menghasilkan suatu pergaulan yang sehat bersama mereka.