Kangen

"Kamu tidak bisa sedih saat mengendarai sepeda," saya pernah mendengar kalimat itu tapi entah siapa, kapan, dan di mana. Kami suka bersepeda. Di kampung kami sebagian besar orang juga bersepeda. Kakak saya pergi ke laut naik sepeda. Ayah saya semasa hidup juga bersepeda. Kini, keponakan saya juga bersepeda.

Pernah sekali waktu ayah naik sepeda dan saya membonceng di belakang. Itu terjadi jelang lebaran. Saya dibelikan sarung atau peci di kota kecil kami di Pantura di Pamanukan. Saya yang membonceng di belakang mungkin ngantuk dan sedikit tertidur saat pulang.

Darah mengucur dari "keuneung" kaki saya. Ada bekas gigi atau gear yang merobek kulit kaki. Ayah segera turun. Saya tertidur saat ayah sedang mengayuh dan hendak naik ke jembatan di ujung kampung. Kaki saya mungkin masuk ke bagian wheelset atau roda sepeda dan berakhir ketika ujung belakang kaki saya nyangkut di gigi.

Hingga saat ini bekas luka itu masih ada. Bentuknya memanjang membelah keuneung kaki. Seperti belahan di dagu. Saya tidak menangis waktu itu. Ayah segera mengobati luka di kaki saya. Dan melanjutkan pulang. Lebaran tahun itu saya tidak memakai sandal. Itu yang saya ingat. Apakah saya batal puasa hari itu, saya tidak ingat untuk itu.

Tiga tahun kemudian saya mendapatkan sepeda merek Phoenix sewaktu naik kelas dari ayah. Sepeda ukuran 26 warna hijau tua. Ada tutup rantainya. Ada tempat pompa di rangkanya. Ada lampu dan dinamo nempel di garpunya. Ada boncengannya, tentu. Itu di tahun 1997.

Foto: Olympic SR 2000 teman jalan jarak dekat.

Follow me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *