Mara(n)dahana: Drama Tari Cerita Saidjah Adinda
Adegan 1 (Flashback)
Diawali dengan sebuah nyanyian, pupuh atau jemplang papantunan yang mengantarkan pada suasana/gambaran mengapa Saidjah berniat pergi ke Batavia. Selain karena keadaan ekonomi keluarganya juga ingin menggapai atau mewujudkan harapan cintanya kepada Adinda.
“Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Kulihat lautan luas di pantai selatan
Ketika aku membuat garam di sana bersama ayahku;
Jika ‘ku mati di lautan dan tubuhku terlempar
ke perairan dalam, hiu-hiu akan datang;
mereka akan berenang mengelilingi mayatku,
dan bertanya, ‘Siapa di antara kita yang
akan melahap mayat tenggelam itu?’
Aku tidak akan mendengarnya!
Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Kulihat rumah Pak Ansu terbakar, dibakarnya
Sendiri karena mata gelap;
Jika ‘ku mati di dalam rumah terbakar, kayu-
Kayu membara akan menjatuhi mayatku;
Dan di luar rumah akan terdengar banyak
teriakan orang-orang menyirami api dengan
air untuk memadamkannya;
Aku tidak akan mendengarnya!
Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Kulihat si kecil Unah jatuh dari pohon kelapa,
ketika dia memetik kelapa untuk ibunya;
Jika aku jatuh dari pohon kelapa, aku akan terbaring
mati di bawah sana, dan di dalam
semak, seperti si Unah.
Lalu ibuku tidak akan menangis, karena dia
sudah tiada. Tapi orang lain akan berseru:
‘Lihatlah, itu Saidjah.”
Aku tidak akan mendengarnya!
Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Telah kulihat mayat Pak Lisu, yang mati karena
usia tua; karena rambutnya sudah memutih:
Jika aku mati karena usia tua, dengan rambut
putih,
perempuan-perempuan sewaan akan
berdiri menangis di dekat mayatku;
Dan mereka akan meratap, seperti para pelayat
di sekeliling mayat Pak Lisu; dan cucu-
cucu akan menangis, begitu keras;
Aku tidak akan mendengarnya!
Aku tidak tahu di mana aku akan mati.
Telah kulihat banyak orang mati di Badur.
Mereka berselubung kain putih, dan
dimakamkan di dalam tanah;
Jika aku mati di Badur, dan dikubur di luar
desa,
di timur di kaki bukit, tempat rerumputan
tinggi;
Adinda akan lewat di sana, dan pinggiran
Sarungnya akan menyapu lembut rerumputan,
Aku AKAN mendengarnya.”
Saidjah sudah berusia lima belas tahun ketika ayahnya pergi ke Bogor; dan dia tidak menemui ayahnya ke sana karena punya rencana lain. Dia mendengar bahwa di Batavia ada banyak tuan yang mengendarai bendi dan akan mudah baginya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai kacung bendi. Biasanya anak muda yang dipilih untuk pekerjaan itu, agar tidak mengganggu keseimbangan kereta beroda dua tersebut dengan bobot yang terlalu berat di belakangnya. Saidjah mendengar bahwa dirinya akan memperoleh banyak uang dengan cara itu jika berperilaku baik. Mungkin selama tiga tahun dia akan bias menambung cukup uang untuk membeli dua kerbau. Ini prospek menarik baginya. Dengan langkah bangga seorang yang telah mendapat gagasan hebat, dia memasuki rumah Adinda setelah kepergian ayahnya, lalu menceritakan rencananya.
“Bayangkan,” katanya, “ketika aku kembali, kita akan sudah cukup usia untuk menikah dan punya dua kerbau!”
“Baiklah, Saidjah, dengan senang hati aku akan menikah denganmu ketika kau kembali. Aku akan memintal dan menenun sarung serta selendang, dan akan sangat rajin sepanjang waktu.”
“Oh, aku memercayaimu, Adinda, tapi… bagaimana jika aku mendapatimu sudah menikah?”
“Saidjah, kau tahu bahwa aku tidak akan menikahi siapa pun kecuali kau. Ayahku telah berjanji dengan ayahmu untuk menjodohkan kita.”
“Dan kau sendiri?”
“Aku akan menikah denganmu, percayalah.”
“Ketika aku kembali, aku akan memanggil dari jauh.”
“Siapa yang akan mendengarnya, jika kami sedang menumbuk padi di desa?”
“Itu benar …, tapi Adinda … oh, ya, ini lebih baik. Tunggulah aku di hutan jati, di bawah pohon ketapang tempat kau memberiku bunga melati.”
“Tapi Saidjah, bagaimana aku bias tahu kapan harus pergi ke pohon Ketapang itu?”
Saidjah berpikir sejenak, lalu berkata:
“Hitunglah bulan. Aku akan pergi selama tiga kali dua belas bulan … tidak termasuk bulan ini … Lihat, Adinda, setiap kali muncul bulan baru, buatlah tanda pada lesungmu. Ketika kau sudah membuat tiga kali dua belas garis, aku akan berada di bawah pohon Ketapang keesokan harinya … Kau berjanji untuk berada di sana?”
“Ya, Saidjah, aku akan berada di sana, di bawah pohon Ketapang di dekat hutan jati ketika kau kembali.”
Kemudian, Saidjah merobek secarik kain dari ikat kepala birunya yang sudah sangat lusuh dan memebrikan potongan kain itu kepada Adinda untuk disimpan sebagai janji, lalu dia meninggalkan Adinda dan Badur.
Adegan 2
Setelah tiga kali dua belas bulan Saijah bekerja di Batavia dengan penuh harap dan kegembiraan ia pulang ke Badur.
Saidjah memulai perjalanan pulang dengan hati riang. Dia melewati Pesing, tempat Havelaat prnah tinggal bertahun-tahun yang lalu. Namun, Saidjah tidak tahu ini … dan seandainya pun dia tahu, ada sesuatu yang lain yang memenuhi jiwanya … Dia menghitung harta karun yang dibawanya pulang. Dalam tabung bamboo, dia menyimpan surat jalan dan surat kelakuan baiknya. Dalam kotak yang diikatkan pada tali kulit, sesuatu yang berat tampak terus berayun-ayun mengenai bahunya, tapi dia senang merasakannya … Itu tidak mengherankan! ….
Kotak itu berisi lima puluh empat gulden, cukup untuk membeli tiga ekor kerbau! Apa yang akan dikatakan oleh Adinda? Ini pun belum semuanya. Di punggung Saidjah terlihat sarung keris berlapis perak yang diselipkan pada ikat pinggang. Gagangnya jelas sangat halus karena dia membungkusnya dengan kain sutra. Saidjah masih punya lebih banyak harta karun! Dalam lipatan kain yang membelit pinggangnya, dia menyimpan ikat pinggang dari rantai perak dengan pending emas. Memang benar ikat pinggang itu pendek, tapi gadis itu begitu ramping … Adinda! Dan di balik bajunya, pada tali yang mengalungi leher, menggantunglah sebuah kantong sutra kecil berisikan beberapa kelopak melati yang sudah kering.
Saidjah punya penglihatan yang indah di hadapan mata batinnya. Dia mencari pohon Ketapang di antara aan-awan, karena dia masih terlalu jauh untuk mencarinya di Badur. Dia menangkap udara di sekelilingnya, seakan hendak memeluk sosok yang akan menemuinya di bawah pohon itu. Dia membayangkan wajah Adinda, kepala, bahunya. Dia melihat konde berat yang begitu hitam dan mengilat, menggantung di leher Adinda. Dia melihat mata besar yang berkilau dalam pantulan hitam; cuping hidungnya yang diangkat Adinda dengan bangga semasa masih kecil, ketika dia—bagaimana mungkin?—menjengkelkan gadis itu; dan sudut-sudut bibir Adinda, tempat gadis itu menyimpan senyuman. Dia melihat Adinda yang kian dewasa, cantik berbalut kebaya. Dia melihat betapa pas sarung buatan Adinda sendiri memeluk pinggul, turun mengikuti lekukan paha, lalu jatuh membentuk lipatan-lipatan di atas kaki mungil gadis itu.
Tidak. Saidjah hanya sedikit mendengar apa yang diceritakan kepadanya. Dia mendengar nada yang jauh lebih berbeda. Dia mendengar apa yang akan dikatakan oleh Adinda: “Selamat dating, saidjah! Aku memikirkanmu ketika memintal dan menenun, serta menumbuk padi di dalam lesung yang punya tiga kali dua belas garis buatan tanganku. Di sinilah aku, di bawah pohon Ketapang pada hari pertama bulan baru. Selamat dating, Saidjah, aku akan menjadi istrimu.”
Adegan 3
Adinda tidak menempati janjinya (dalam pikiran Saidjah). Pupus sudah harapan dan cita-cita Saidjah. Kemarahan dan kekecewaan berat memuncak. Saidjah dianggap gila.
Menyakitkan bagi Saidjah, mengapa Adinda tidak mengharapkan momen menakjubkan yang telah menerangi jiwanya selama tiga tahun dengan kecemerlangan yang tidak bisa dijelaskan itu. Sekalipun Saidjah bersikap tidak adil dalam keegoisan cintanya, baginya tampaknya Adinda seharusnya sudah berada di sana menunggunya, menunggu Saidjah yang mengeluh sebelum waktu yang ditentukan—karena dia harus menunggu gadis itu.
Akan tetapi, tidak sepatutnya Saidjah mengeluh karena matahari belum terbit dan terangnya hari belum mencapai daratan. Memang benar, bintang-bintang menjadi semakin pucat di atas sana, merasa malu ketika mendekati akhir kekuasaan mereka! Warna-warna ganjil melayang di atas puncak pegunungan yang tampak lebih gelap ketika dilatari tempat-tempat yang lebih terang. Di sana sini melayang sesuatu yang tampak berkilau di timur—anak-anak panah emas dan api yang dilesatkan ke sana kemari, sejajar dengan cakrawala. Tapi, semuanya itu menghilang kembali, dan seakan jatuh ke balik tirai tak tertembus yang menyembunyikan terang dari mata Saidjah.
Namun, hari semakin terang dan semakin terang di sekelilingnya. Kini, dia melihat pemandangan itu, dan sudah bisa membedakan bagian dari hutan kelapa di belakang Badur; di sanalah Adinda tidur.
Tidak! Pasti gadis itu tidak tidur. Bagaimana mungkin dia tidur? … Bukankah dia tahu kalua Saidjah sedang menunggunya? Pasti dia tidak tidur sepanjang malam. Peronda malam desa telah mengetuk pintu Adinda untuk bertanya mengapa pelita terus menyala di pondoknya. Dengan tawa manis, gadis itu menjawab bahwa sebuah janji membuatnya terjaga untuk menenun selendang yang sedang digarapnya dan yang harus siap sebelum hari pertama bulan baru.
Atau, Adinda telah melewatkan malam dalam kegelapan, duduk di atas lesung dan menghitung dengan jari-jari tangan bersemangat bahwa memang ada tiga puluh enam garis mendalam yang ditakik berdekatan. Dan, dia telah menghibur diri dengan ketakutan khayalan bahwa dia salah hitung, mungkin hitungannya kurang satu, lalu sekali lagi dan sekali lagi, dan selalu, dia menikmati kepastian yang menyenangkan bahwa tiga kali dua belas bulan telah benar-benar berlalu semenjak Saidjah melihatnya untuk terakhir kalinya.
Lagi pula, kini hari menjadi terang, Adinda juga akan berupaya dengan sia-sia untuk memandang ke balik cakrawala dan mencari matahari, matahari pemalas, yang belum terbit … belum terbit … Muncul garis merah kebiruan yang menyentuh awan dan membuat pinggirannya terang dan berkilau. Hari mulai terang, dan sekali lagi anak-anak panah api melesat melewati atmosfer. Kali ini mereka tidak menghilang, tetapi menangkap tanah gelap dan menyampaikan cahayanya dalam lingkaran-lingkaran yang semakin besar dan semakin besar, bertemu, bersilangan, menyebar, berputar, berkelana, dan Bersatu dalam petak-petak api dan kilat-kilat cahaya keemas an di tanah biru-keunguan … ada warna merah, biru, perak, ungu, kuning, dan emas dalam semuanya ini … Oh, Tuhan! Itulah fajar, itulah pertemuan kembali dengan Adinda!
Saidjah belum belajar berdoa, tapi tak apa; karena doa yang lebih suci, ucapan terima kasih yang lebih menggelora daripada kegembiraan bisu jiwanya, tidak bisa diucapkan dalam Bahasa manusia. Dia tidak akan pergi ke Badur—baginya melihat Adinda dalam kenyataan tidak akan seindah pengharapan untuk bisa melihat gadis itu kembali. Dia duduk di kaki pohon Ketapang dan matanya mengembara ke sekeliling. Alam tersenyum kepadanya, seakan menyambutnya seperti seorang menyambut kepulangan anaknya. Sama seperti ibu yang membayangkan kegembiraannya dengan mengingat kedudukan di masa lalu untuk mengungkapkan apa yang disimpannya sebagai kenangan selama ketidakhadiran anaknya.
Begitu juga Saidjah merasa gembira mengenang kembali betapa banyak tempat yang menjadi saksi kehidupan singkatnya. Namun, walaupun mata atau pikirannya bisa berkelana sesuka hati, pandangan dan hasratnya selalu kembali ke jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu. Yang bisa diamati oleh semua indranya hanyalah Adinda. … Dia melihat jurang di sebelah kiri, yang tanahnya begitu kuning, tempat seekor kerbau muda pernah terjatuh ke dalamnya. Mereka turun dengan tali rotan kuat dan ayah Adinda-lah yang paling berani. Oh, betapa Adinda betepuk tangan!
Di sana, lebih jauh lagi, di sisi lain, tempat hutan pohon kelapa melambai-lambai di atas pondok-pondok desa, di suatu tempat di sana, Si Unah jatuh dari pohon dan mati. Betapa ibunya menangis, “Karena Si Unah masih begitu kecil,” ratapnya, … seakan dia tidak akan terlalu berduka seandainya Si Unah sudah lebih tinggi. Namun, Si Unah memang kecil, tubuhnya lebih kecil dan lebih ringkih daripada Adinda …
Tak seorang pun terlihat di jalan kecil yang menghubungkan Badur dan pohon itu. Dia akan segera dating … hari masih sangat pagi.
Saidjah melihat seekor bajing melompat lincah dengan riang dan jenaka di atas batang pohon kelapa. Hewan cantik itu—yang ditakuti oleh pemilik pohon, tapi masih indah penampilan dan gerakannya—berlari naik turun tanpa kenal Lelah. Saidjah melihatnya dan memaksakan diri untuk tetap memandang karena ini bisa menenangkan pikirannya yang bekerja keras semenjak matahari terbit, bisa mengistirahatkan pikirannya setelah pengharapan yang melelahkan. Dengan segera, dia mengutarakan kesannya dalam kata-kata dan melantunkan apa yang didiktekan oleh jiwanya. Aku lebih suka membacakan nyanyiannya dalam Bahasa Melayu daripada Bahasa Italia di Timur itu:
“Lihatlah, betapa bajing mencari makan
Di pohon kelapa. Dia naik, turun, melompat ke
Kiri dan ke kanan,
Dia berlari (mengitari pohon), melompat, jatuh,
memanjat, dan jatuh lagi.
Dia tidak punya sayap, tapi bergerak secepat
Burung.
Selamat bersenang-senang, bajingku—selamat!
Pasti kau temukan makanan yang kau cari;
Tapi aku duduk sendiri di dekat hutan jati
Menantikan santapan hatiku.
Lama sudah bajingku kenyang;
Lama sudah dia kembali ke sarang mungilnya;
Tapi masih juga jiwaku
Dan hatiku sangat berduka … Adinda!”
Masih tidak tampak seorang pun di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu …
Saidjah melihat seekor kupu-kupu yang tampak menikmati hari yang semakin hangat …
“Lihat betapa kupu-kupu beterbangan kesana kemari;
Sayapnya berkilauan seperti bunga warna-warni;
Hatinya mencintai bunga-bunga kenari,
Pasti dia mencari kekasihnya nan wangi.
Banyak kebahagiaan, kupu-kupuku—selamat!
Pasti kau temukan apa yang kau cari;
Tapi aku duduk sendiri di dekat hutan jati,
Menanti kekasih hatiku;
Lama sudah kupu-kupu mencium
Bunga kenari yang sangat dicintainya;
Tapi masih juga jiwaku
Dan hatiku sangat berduka … Adinda!”
Dan masih tidak tampak seorang pun di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu.
Matahari mulai naik tinggi, ada kehangatan di udara.
“Lihat betapa matahari berkilau tinggi,
Tinggi di atas bukit waringin!
Dia kepanasan dan ingin turun,
Untuk tidur di lautan seperti di lengan kekasih.
Banyak kebahagiaan, O matahari—selamat!
Pasti kau temukan apa yang kau cari;
Tapi aku duduk sendiri di dekat hutan jati
Menanti ketenangan hatiku.
Lama sudah matahari akan terbenam
Dan tidur di lautan ketika semuanya gelap;
Dan masih juga jiwaku
Dan hatiku akan sangat berduka … Adinda!”
Dan tidak tampak seorang pun di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu.
“Ketika tiada lagi kupu-kupu beterbangan ke sana kemari,
Ketika bintang-bintang tiada lagi berkilau,
Ketika melati tiada lagi mewangi,
Ketika tiada lagi hati yang sedih,
Juga hewan liar di hutan
Ketika matahari tersesat
Dan bulan lupa mana timur dan barat,
Jika Adinda belum juga tiba,
Maka malaikat dengan sayap berkilau
Akan turun ke bumi, mencari apa yang tertinggal:
Maka mayatku akan terbaring di sana, di bawah Ketapang—
Jiwaku sangat berduka, … Adinda!”
Tidak tampak seorang pun di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu.
“Maka malaikat itu akan melihat mayatku,
Dia akan menunjukkanku kepada saudaranya—
‘Lihat, ada orang mati yang terlupakan,
Bibir kakunya mencium bunga melati:
Ayo, kita bawa dia ke surga,
Lelaki yang telah menunggu Adinda sampai mati.
Sungguh, dia tidak boleh tertinggal sendirian,
Hatinya begitu kuat untuk mencintai sedalam itu,’
Maka sekali lagi bibir kakuku akan terbuka.
Untuk memanggil Adinda kekasih hatiku,
Akan kucium melati itu sekali lagi,
Bunga pemberiannya …. Adinda! … Adinda!”
Dan masih tidak tampak seorang pun di jalan yang menghubungkan Badur dengan pohon Ketapang itu.
Oh, pasti Adinda tertidur menjelang pagi, Lelah berjaga semalama, berjaga selama bermalam-malam. Dia belum tidur selama berminggu-minggu. Begitulah!
Haruskah dia bangkit berdiri dan pergi ke Badur? Tidak, itu berarti meragukan kedatangan Adinda.
Haruskah dia memanggil lelaki yang sedang menggiring kerbau ke sawah? … Lelaki itu terlalu jauh. Lagi pula, Saidjah tidak mau bicara kepada siapa pun mengenai Adinda, tidak mau bertanya kepada siapa pun mengenai Adinda … Dia akan bertemu dengan Adinda, dia akan bertemu dengan Adinda sendirian, dia akan melihat Adinda terlebih dahulu. Oh, pasti, pasti Adinda akan segera datang!
Dia akan menunggu, menunggu ….
Tapi seandainya Adinda sakit, atau … mati?
Bagaikan rusa terluka, Saidjah melesat di sepanjang jalan yang menghubungkan pohon Ketapang dengan desa tempat Adinda tinggal. Dia tidak melihat apa-apa dan tidak mendengar apa-apa; tapi dia bisa mendengar sesuatu, karena ada orang-orang yang berdiri di jalan, di gerbang desa, dan berteriak, “Saidjah, Saidjah!”
Namun, … apakah ketergesaannya, semangatnya, mencegahnya untuk menemukan rumah Adinda? Dia sudah melesat ke ujung jalan, melewati desa dan, seperti orang gila, berlari kembali dan memukul kepala, karena dia pasti telah melewati rumah Adinda tanpa melihatnya. Namun, sekali lagi dia berada di gerbang desa, dan … Oh Tuhan, apakah ini mimpi? …
Sekali lagi dia tidak menemukan rumah Adinda. Sekali lagi, dia melesat kembali dan mendadak berdiri diam, mencengkeram kepala dengan kedua tangan untuk mengusir kegilaan yang menguasainya, lalu berteriak keras-keras:
“Mabuk, mabuk; aku mabuk!”
Adegan 4
Saidjah menyusul Adinda ke Lampung. Ia bertemu dengan Adinda yang sudah meninggal.
Di Cilangkahan dia membeli perahu nelayan dan, setelah berlayar selama dua hari, tiba di Lampung, tempat para pejuang sedang melawan pemerintah Belanda. Dia bergabung dengan sepasukan lelaki Badur, bukan untuk bertempur melainkan untuk mencari Adinda; karena dia berhati lembut dan lebih mudah tergugah oleh kesedihan daripada kepahitan.
Suatu hari, ketika para pejuang telah dikalahkan, Saidjah berkelanan ke desa-desa yang baru saja direbut oleh tantara Belanda dan karenanya masih terbakar. Saidjah tahu kalau pasukan yang dihancurkan di san aitu sebagian besar terdiri dari orang Badur. Dia berkeliaran seperti hantu di antara rumah-rumah yang belum terbakar, dan menemukan mayat ayah Adinda dengan luka bayonet di dada. Di dekatnya, Saidjah melihat tiga adik laki-laki Adinda yang terbunuh, masih muda—masih anak-anak. Sedikit lebih jauh lagi tergeletak mayat Adinda, teraniaya secara mengerikan.
Secarik kecil kain biru menembus luka menganga di dadanya, luka yang tampaknya mengakhiri pergulatan Panjang.
Setelah itu, Saidjah pergi menemui beberapa tantara yang sedang menghalau sisa-sisa pejuang dengan todongan bayonet agar memasuki api rumah-rumah yang terbakar. Dia mendekap bayonet lebar itu, menyorongkan tubuhnya sekuat tenaga, dan masih mendesak tantara-tentara itu dengan tenaganya yang penghabisan, sampai senjata mereka terbenam ke dalam rongga dadanya.
“Tapi Tuhan, yang tergerak oleh begitu banyak
bencana
Tidak menerima persembahan pada hari itu!”
Adegan 5
Monolog singkat tentang Cinta dan Perpisahan.