Ngobrol Asyik: Masa Depan Lembaga Kebudayaan

Kami berangkat bertiga dari Alun-Alun Rangkasbitung, Selasa, 23 Januari 2024. Di sebelah ada Jeni Abdul Rokhim dan di kursi belakang ada Acep Nazmudin. Saya memegang setir. Kami bertiga hendak menghadiri acara di Pandeglang. Jeni bekerja sebagai IT di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Banten dan Acep adalah Founder Info Rangkasbitung.
Tiba di tempat acara, peserta sudah ramai. Ini di Sarasa Collective Pandeglang. Letaknya di wilayah Cikupa. Kompleks perkantoran. Ada Dinas Pendidikan dan PUPR Pandeglang. Kami tepat di belakang Taman Kanak-Kanak (TK). Sarasa Collective tempat ngopi yang asyik. Pemiliknya adalah founder dari Jejak Baduy. Sebuah agen perjalanan yang menawarkan kunjungan ke wilayah Kanekes di Lebak. Setiap minggunya selalu saja ada yang menggunakan jasanya.
Pembicara juga sudah tampak hadir. Ada pelukis Gebar Sasmita juga sejarawan Bonnie Triyana. Juga sudah hadir moderator dan para penampil. Saya menyalami peserta yang sudah lebih dulu tiba. Bonnie meminta air putih. Saya menawarkan makan berat terlebih dahulu. Bonnie tampak lahap menikmati nasi goreng yang sudah disediakan. Beberapa kawan asyik berbincang.
Tak lama, Tirta N Pratama, seorang seniman pertunjukan dan ahli tata artistik tiba. Tirta langsung mengambil mic. Dipanggilnya penampil pertama, Rizal Mahfud. Rizal menyajikan tiupan suling dengan tampilan sangat pendek. Toleat namanya. Rizal mengkombinasikan tiupan sulingnya dengan rekaman wawancara antara dirinya dengan Ki Pantun dari Kanekes, Ayah Anirah. Rizal bercerita bahwa sewaktu Kanekes kekurangan bibit padi, diambilnya padi dari Cibaliung. Rizal kelahiran Cibaliung. Keterangan soal sumber benih padi itu didapatnya dari Ki Pantun. Ki Pantun menceritakan kisah dari kakeknya. Tiupan suling Rizal menghipnotis penonton. Rizal menyajikan tiga lagu. Selain suling ia juga memainkan kacapi buhun.
Disusul kemudian tampilan dari Ifan Sandekala. Ia membacakan puisi. Puisi dibacanya dengan penuh semangat. Ifan terkenal sebagai deklamator unggulan. Sehari-harinya mengajar teater di beberapa sekolah di Banten. Sebulan lalu ia mementaskan teater Bersama murid-muridnya.
Penampil rahasia ditahan dulu. Sebab acara ngobrol akan dimulai.
Hendra Permana mengambil alih panggung. Hendra mempersilakan Gebar Sasmita dan Bonnie Triyana duduk di sebelahnya. Hendra tampak mempersiapkan diri dengan matang. Ia tak banyak basa-basi. Mempersilakan Bonnie Triyana menyampaikan pandangannya. Ngobrol malam ini menyoal Masa Depan Lembaga Kebudayaan.
Bonnie menyampaikan bahwa perdebatan tentang kebudayaan dan Lembaga kebudayaan sudah jauh terjadi di belakang kita. Sejak tahun 1930an ketika perdebatan sengit antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dan Sanusi Pane mengemuka.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) adalah sastrawan yang lahir tahun 1908. Pada tahun 1933, STA menjadi salah satu sastrawan yang menerbitkan majalah sastra Poedjangga Baroe. Di penghujung masa pemerintahan kolonial Belanda, STA menjadi tokoh penting dalam pencarian identitas Indonesia. Ia menulis esai Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang diterbitkan Poedjangga Baroe tahun 1935.
Jiwa yang melahirkan Borobudur yang luhur itu tidak ada sangkut pautnya dengan semangat menyala-nyala dalam dada para penganjur cita-cita keindonesiaan dalam abad kedua puluh ini.
Paragraf dari esai STA yang mewakili pemikirannya tentang masyarakat Indonesia seharusnya membawa nilai-nilai kemajuan dan modernitas ala Barat. Sanusi Pane salah satu sastrawan angkatan Poedjangga Baroe, tidak setuju dengan pemikiran STA. Ketidaksepakatan Sanusi Pane ditulis dalam esai Persatuan Indonesia tahun 1935.
Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali.
Dalam esainya, ia menyatakan bahwa pemikiran STA justru menentang semangat kedaerahan. Tulisan STA dan Sanusi Pane menjadi awal masuknya perdebatan pendapat dalam menentukan orientasi kebudayaan Indonesia. Perdebatan ini tidak hanya antara STA dan Sanusi Pane, tapi juga menyulut tokoh lainnya untuk ikut berpendapat, salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Perdebatan inilah yang memicu Polemik Kebudayaan hingga muncul pandangan identitas Indonesia yang ala Barat atau ala Timur.
Masih menurut Bonnie, perdebatan kebudayaan juga muncul di tahun 1965
Dalam sejarah kebudayaan Indonesia modern, gejolak yang terjadi antara tahun 1950-1965, adalah fenomena yang paling dikenal dan paling tidak jelas pada saat yang bersamaan. Gejolak yang terkenal dengan “Peristiwa Manikebu” ini, kemudian diartikan bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan masing-masing interpretator, dan terutama sesuai dengan tingkat kesempatan (atau kemampuan) mengakses bahan sejarah sejaman. Ada yang mengartikan pergolakan tersebut sebagai perdebatan antarapenganut realisme sosialis dengan pendukung humanisme universal, pertarungan antara Lekra dan kubu Manifes Kebudayaan. Lainnya menyatakan sebagai penindasan Lekra, yang merupakan lembaga kebudayaan dominan pada masa itu, terhadap paham-paham lain, terutama kelompok Manikebu yang secara frontal menghadang. Ada juga yang menyatakan bahwa pergolakan itu tidak lain dari sebuah pertarungan politik yang mengambil wilayah kebudayaan.
Beragamnya interpretasi tersebut minimal menunjuk pada dua hal, pertama menunjukkan kekayaan pemahaman atas gejolak itu; dan kedua menunjukkan ketidakjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu. Yang pertama sulit untuk dipertahankan mempertimbangkan tradisi penulisan sejarah orde baru, terutama pada masa-masa tahun 1960-an, di mana sejarah adalah sebuah interpretasi tunggal. Lalu kita menuju pada alasan kedua, bahwa apa yang terjadi pada masa itu tidaklah jelas. Karena penjelasan yang ada tentangnya hanya datang dari satu sisi, yaitu dari mereka yang bersama Orde Baru keluar sebagai pemenang. Konsekwensi selanjutnya adalah segala informasi, interpretasi dan pendapat dari pihak yang kalah jadi tertutup. Sejarah ditulis oleh para pemenangnya.
Dalam paparan akhirnya Bonnie lebih berkenan apabila kantong-kantong kebudayaan biarlah bertumbuh dengan kekhasannya masing-masing. Tanpa harus dikondisikan dalam sebuah wadah kebudayaan atau kesenian yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah. Bonnie menyadari bahwa ada Lembaga kesenian atau kebudayaan yang sudah bertumbuh lebih awal. Akan tetapi seharusnya Lembaga kebudayaan ini mampu menjadi kurator atau fasilitator ketika seniman hendak tampil. Lembaga itu bukanlah sanggar seni atau malah menjadi bagian dari kepanjangan tangan pemerintah.
Sementara itu, Gebar Sasmita berfokus pada pekembangan Lembaga seni rupa di Indonesia. Gebar menuturkan bahwa sebelum muncul Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), para seniman rupa banyak didikte oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda saat itu membuat sebuah kebijakan terkait Mooi Indie.
Seniman Eropa dan Belanda saat itu hanya melukis lukisan-lukisan yang menggambarkan keindahan alam Hindia Belanda dengan tujuan menggencarkan daya Tarik pariwisata. Oleh pemerintah Hindia Belanda gaya naturalistic diteruskan hingga awal abad ke-20. Kemudian di tahun 1939, peluksi S. Sudjojono menolak gagasan Mooi Indie ini. Menurutnya karya lukis yang serba indah, damai, romantic, surgawi, dan tentram ini sesungguhnya berbeda sekali dengan keadaan rakyat di negeri jajahan.
Malam merambat. Diskusi menghangat. Beberapa peserta mengajukan tanya. Penampil rahasia menutup acara dengan penampilan “Kontes Berbohong” yang diikuti oleh tiga kontestan. Dan juara berbohongnya adalah kontestan nomor dua.
Kami menutup malam dengan bersama berfoto. Ngobrol penuh kehangatan. Terima kasih.
One thought on “Ngobrol Asyik: Masa Depan Lembaga Kebudayaan”