Sabbane

Suap memang bukan barang baru. Suap tidak hanya terjadi di Indonesia. Ada seorang insinyur, bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum di Casablanca, Maroko dalam novel L’Homme rompu (1994) karya Tahar Ben Jelloun. L’Homme rompu atau dalam terjemahannya sebagai Korupsi (2010) bercerita tentang seorang pegawai negeri jujur yang berupaya melawan arus agar tak terperangkap jaring suap. Pegawai itu bernama Murad.

Dalam Korupsi, Murad tak bisa disogok. Perannya di jajaran birokrasi adalah mempelajari berkas pembangunan. Tanpa parafnya, tak akan ada izin membangun. Murad menduduki posisi yang penting dan banyak diincar orang. Ia menjabat sebagai “Wakil Direktur Perencanaan dan Pembinaan”. Dengan gajinya yang tak seberapa, ia menghidupi keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak, sewa rumah, dan memenuhi keperluan sehari-hari ibunya. Gajinya tidak cukup.

Murad, tidak cukup cerdik untuk melakukan pekerjaan seperti asistennya. Haji Hamid yang congkak dan sombong. Ia menerima berbagai imbalan dan pemberian. Hidup mewah dari uang suap. Gajinya hanyalah simbol. Bepergian ke Eropa dan dua tahun sekali pergi umroh ke Mekah adalah buktinya. Suap yang diterima Haji Hamid tak pernah terlihat langsung. Kecuali kalau dipasang perangkap. Itulah yang khas dari suap.

Sebagai manusia besi, Murad tak pernah bisa menyesuaikan diri. Baginya menyesuaikan diri adalah menutup mata. Murad tak bisa menyisihkan prinsip dan idelismenya. Tidak bisa belajar maling dan berbagi keuntungan dengan yang lain. Tidak bisa bohong. Tidak cerdik. Murad menggambarkan dirinya sebagai sebutir pasir yang masuk ke dalam mesin suap dan menjadikannya berderit. Itulah kebanggaan Murad.

Bagi Murad, suap adalah kanker yang menggerogoti negara. Sikap dan moral Murad berlawanan dengan hal itu. Murad yang pemalu, di hadapan para penyuap dan asistennya tak pernah jadi pemalu. Daya tahannya tanpa cacat. Apabila berhadapan dengan seseorang yang berusaha membelinya, kekuatan dan keberaniannya muncul. Ia tak akan menceramahi penyuap. Ia akan menunjuk pintu ruangannya tanpa berkata apa pun. Orang yang akan membelinya mundur dan pergi. Murad sebagai manusia besi dan sebutir pasir.

Suatu hari Murad dipanggil Direktur. Bersamaan dengan itu Wassit anak pertamanya masuk rumah sakit dan kritis karena menelan sesuatu yang beracun. Direktur di kantor Murad berbicara tentang prinsip-prinsip dan agar ia bersikap luwes menerima sistem di kantornya. Direktur mulai bersikap tidak ramah terhadap Murad. Di atas mejanya terdapat sebuah berkas. Tertulis di berkas tersebut: Sabbane.

Tuan Sabbane adalah seorang makelar. Proyek-proyek dari luar negeri diambilnya. Diserahkannya ke kantor di mana Murad bekerja. Sabbane adalah pelaku suap. Dalam bahasa Arab, Sabbane berarti orang yang mencuci baju kotor. Sungguh pas sekali dengan kelakuannya.

Prinsip yang dipegang teguh oleh Murad ternyata tak sejalan dengan istrinya, Hilma. Hilma yang sering minta ini dan itu. Hilma yang suka membandingkan Murad dengan Haji Hamid. Di tengah gempuran Hilma, kehidupan ekonomi Murad serba kekurangan. Salah satu anaknya yang sakit-sakitan, tekanan dari istri dan rekan kerjanya yang terus berusaha menggodanya agar menerima suap lambat laun mulai menggoyahkan keyakinannya.

Sabbane adalah tantangan pertama dan terakhir bagi Murad. Keyakinan dan keteguhan prinsipnya diuji ketika di dalam berkas Sabbane yang harus ditandatanganinya terdapat amplop putih. Murad berbisik dalam hati, “kadang-kadang kemiskinan itu penasehat yang buruk.” Kemiskinan mendorong Murad meloloskan berkas Sabbane. Amplop putih itu berisi dua gepok seratus dan dua ratus dirham. Sepintas lalu jumlahnya dua juta sen. Uang itu lebih dari cukup untuk melunasi utang-utangnya juga untuk mengobati anaknya. Uang itu telah meruntuhkan prinsip antisuap yang selama ini ia pegang.

Murad harus mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya. Suap telah mengacaukan hidupnya. Keluarganya berantakan. Suap telah membuat hidupnya penuh tekanan dan tidak bahagia. Suap menjadikannya manusia yang kalah. Meskipun ia tahu kesenangan bagaikan lapis tipis di atas endapan tebal minuman keras yang pahit. Kepahitanlah yang kemudian diterima Murad. Merasakan kesenangan sesaat, kemudian diserang penyesalan. Murad juga diserang penyakit. Bercak-bercak putih datang memenuhi wajahnya. Bercak putih itu akibat tekanan batin berlebihan.

Tampaknya, suap memang soal mentalitas, bukan soal kemiskinan, sesuatu yang bahkan mungkin tak ada hubungannya dengan kedudukan. Suap bukan pula soal pendidikan. Sebab seseorang berpendidikan tinggi sekalipun dapat terjerat olehnya. Soal suap mungkin berhubungan dengan mentalitas manusia sebagai manusia, kapan saja ia berada dalam situasi berhadapan dengan lingkungan kekuasaan, kapan saja ia harus menentukan pilihan untuk menerima atau menolak suap.

Pergulatan batin Murad dalam mempertahankan prinsipnya dan bagaimana ketika akhirnya ia harus mengambil resiko atas keputusan yang diambilnya, kehidupan sosial masyarakat Casablanca dan suasana kota, angkutan umum, lalu lintas, dan perilaku suap yang terjadi juga terasa memiliki kesamaan dengan kota-kota besar di Indonesia. Suap, baik di Maroko maupun Indonesia adalah penyakit kronis yang merajalela di kalangan birokrat. Di tengah kemiskinan yang mencekik rakyat, para pejabat sibuk memperkaya diri dengan uang suap. Merampok uang rakyatnya sendiri. Tahar Ben Jelloun menulis dalam sedih, “Bahwa di langit yang berbeda, dan berjarak beribu-ribu kilometer, ketika didera oleh kesengsaraan yang sama, kadang-kadang jiwa manusia menyerah pada setan yang sama.”

Aneh memang, namun kita tidak dapat mengetahui apa sebenarnya sebabnya, bahwa dalam zaman seperti ini, di mana keterbukaan sangat dekat, suap masih saja banyak terjadi. Suap masih dianggap perkara yang biasa bukan perkara besar. Suap sudah seharusnya menjadi perkara besar di Jakarta maupun di Casablanca, di Bandung ataupun di Lampung. Di kampung ataupun di kota besar. Di mana pun di dalam abad di mana pelaku suap masih belum menemukan jeranya.

Yang harus terus dilakukan, meyakinkan setiap orang agar tidak menerima suap, juga tidak memberikan suap. Setiap orang dapat mengemukakannya dengan berbagai bentuk dan kemampuannya. Menggugah kesadaran dan menyindir perilaku suap dengan bentuk-bentuk yang mampu dilakukannya. Di negeri di mana keyakinan melarang suap, sudah seharusnya menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja tidak seperti iklan obat di televisi: seketika.

Pengarang Belanda, Mulatuli  pernah mengatakan bahwa “darah melekat pada uang yang disimpan dari uang yang diterima” dengan jalan suap, penyalahgunaan kekuasaan, dan sistem perampokan yang dikemudian hari membebani pundak rakyat yang malang.

Wah, Sabbane sudah mati!

Follow me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *