Surat untuk Bonnie

Oleh: Ubaidilah Muchtar

Foto: Jeni Abdulrokhim

Bung, saya ingin memulai catatan singkat ini dengan mengutip salah satu tulisanmu yang berjudul “Zaman Enak”, di rubrik Lorong Zaman, Majalah Historia Nomor 18 Tahun II, 2014. Mungkin bukan tulisanmu yang terbaik, tapi menurut saya inilah tulisan yang paling mewakili situasi saat ini. Terutama karena menjadi semacam roh yang secara tidak langsung telah menggerakkan langkahmu untuk terus-menerus melakukan pembacaan dalam upaya menggali sekaligus menelisik sejarah, yang entah sengaja atau kebetulan telah menjadi jalan hidupmu selama ini. Jalan hidup untuk melawan setiap upaya mengembalikan kekuasaan yang hegemonik.

“Saya curiga, semua sticker, spanduk, dan kaos bertuliskan ‘Enak zamanku, tho’ dan semua ajakan untuk ‘kembali ke masa lalu’ bentuk kampanye yang hegemonik. Ia seperti memutar ulang rekaman lama yang sekian lama mengendap dalam kepala orang. Tujuannya bukan murni untuk memperbaiki keadaan, tapi lebih kepada cara untuk kembali berkuasa.”

Kutipan di paragraf terakhir tulisan pendekmu itu sangat sederhana tapi mengena. Sebuah deskripsi yang kamu tulis sepuluh tahun lalu tapi tampak nyata di hari-hari terakhir ini. Kecurigaanmu sangat beralasan dan itu sebagai bentuk kesadaranmu yang terlatih melihat keadaan. Dari kalimat yang kamu susun itu mengandung kekuatan dan keunggulan, terutama karena kemampuanmu menempatkan sejarah secara pas. Sebuah pembacaan atas laku sejarah kekuasaan yang terjadi sejak zaman revolusi yang penuh ketegangan, pertempuran, pengungsian, dan penderitaan. Banyak penduduk yang terimbas dari perubahan politik yang drastis di kala itu. Kerinduan atas situasi yang tenang dan nyaman. Mereka ingin kembali ke zaman normal di mana Belanda masih berkuasa dan semua seolah berjalan baik-baik saja.

Menurut Bung, hal tersebut tentu soal kesadaran yang dibentuk sedimikian rupa oleh penguasa. Penguasa kolonial berhasi membangun Hindia Belanda menjadi sebuah negara polisi sekaligus negara kekerasan. Negara membatasi kebebasan aktivitas politik orang Indonesia dan secara terus-menerus menghalangi perwujudan kebebasan warganya. Teror negara dan ketakutan yang ditimbulkannya menciptakan sebuah situasi aman dan nyaman yang semu. Rakyat dibuat tidak punya kesadaran kritis.

Pemerintah kolonial sudah berlalu, pemerintah Sukarno-Hatta juga. Orde Baru secara nyata sudah berlalu, tapi sepuluh tahun yang lalu Bung menyaksikan bagaimana cara yang sama agar rakyat  tidak memiliki kesadaran kritis dilakukan. Mengembalikan ingatan orang pada masa lalu. Masa Orde Baru yang mendominasi masyarakat tak ubahnya negara kolonial. Sejarah dan standar moralitas diatur berdasarkan apa yang benar menurut penguasa.

Bung, sekian lama kamu menjalani proses sebagai sejarawan. Pendidikan sejarahmu di Undip, Semarang. Setelah lulus kamu sempat bekerja sebagai wartawan di Jakarta sampai akhirnya menikah dan menetap di Jakarta. Kamu bersama teman-temanmu mendirikan Majalah Historia.ID yang dikenal dengan “Masa Lalu Selalu Aktual”nya. Majalahmu mengikrarkan diri sebagai Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia dan diakui oleh MURI. Tulisan dalam majalah itu banyak memberikan pengaruh kepada generasi muda Indonesia akan pentingnya sejarah. Dan sejarah tidak semata soal periode dan menghapal tanggal.

Sejak awal saya melihat kamu di 2009 sudah mempunyai kecenderungan untuk mudah bergaul. Kamu tampak senang bercerita lewat tulisan dan di kehidupan nyata dalam pertemanan. Kamu ikut menginisiasi lahirnya Museum Multatuli dan Festival Seni Multatuli di Pemda Lebak. Kamu banyak bercerita dan yang diceritakan bukan semata pengalaman pribadi, tapi pengalaman dari hasil pembacaanmu terhadap situasi nasional dan internasional. Kamu pernah dipermasalahkan oleh sejarawan dan anggota Parlemen Belanda karena sikapmu yang menentang istilah ‘Bersiap’ yang menurutmu itu rasis dan merendahkan martabat bangsa Indonesia. Kamu dilaporkan ke polisi Belanda. Kamu hadapi dengan memberikan kesaksian di depan parlemen. Kamu tidak lari. Caramu bercerita juga asyik, riang dan apa adanya dengan memakai bahasa pergaulan yang akrab. Khas anak Rangkas: Dia, Aing!

Saya juga menyaksikan bagaimana kamu memperjuangkan pengembalian harta rampasan. Posismu sebagai sekretaris di komisi pengembalian barang jarahan itu membuatmu sibuk. Pengembalian barang-barang jarahan itu membuka kesadaran banyak kalangan bahwa jika dulu barang-barang itu dikembalikan sebagai hadiah, cinderamata, kenang-kenangan. Tapi kini dikelola dengan baik dan diminta secara resmi oleh negara. Ada keberanian dan rasa keadilan di dalam prosesnya. Di mana kita sederajat dengan mereka.

Sejak pertengahan 2023 lalu saya mendengar dari dirimu bahwa kamu mau kembali ke kampung halaman di Rangkasbitung. Kamu akan mengikuti kontestasi politik sebagai anggota legislatif di DPR RI Dapil Banten I untuk wilayah Lebak dan Pendeglang pada Pemilu 2024 ini. Di Senayan yang riuh dan gaduh nanti itu kreativitas dan produktivitasmu tidak lantas jadi meredup, justru malah semakin berkobar-kobar. Semoga akan lahir aturan-aturan dan kebijakan dari pemikiran kamu. Semoga kelak kebijakan-kebijakan yang keluar bukan hanya suara sayup-sayup yang menyapa dirimu saja, tapi juga mampu menyapa anak-anakmu, menyapa istrimu, keluarga besarmu, sahabat-sahabat tercintamu dan semua yang kamu wakili. Seluruh rakyat Indonesia, harapannya. Kehadiranmu kelak mampu membuka kesadaran kritis warga. Akan ada suara dari Banten. Suara jernih yang memperjuangkan rakyat kecil. Akan banyak warga yang berani dan tidak tabu mengkritik penguasa. Kerja-kerjamu akan menjadi suara bagi rakyat kecil, yang dengan cara serta keunikanmu sendiri mampu memperkaya khazanah batin kita semua. Saya ucapkan selamat dan sukses untukmu, Bung Bonnie Triyana. Jangan lupa jaga kesehatan, rajin bersepeda, dan lari pagi.***

Rangkasbitung, 10 Februari 2024

Follow me!

One thought on “Surat untuk Bonnie

  1. Days inspiration says:

    MERDEKAAAA...!!! 💪💪💪👏👏👏👍👍👍

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *