SUWADMA DAN MOTOR MUNIR

Aang Kusmawan, aktivis masyarakat dan guru Madrasah Aliyah (setingkat SMA) Kertasari Al-Fatah, Kabupaten Bandung sangat menyayangi sepeda motornya. Sampai-sampai ia memberikan nama selayaknya pada manusia untuk sepeda motornya tersebut. Motor yang menemani aktivitas kesehariannya itu ia beri nama: Suwadma.

Suwadma setiap minggu hilir mudik antara Buah Batu-Kertasari. Buah Batu terletak di Kota Bandung. Sementara Kertasari merupakan kecamatan paling ujung di wilayah selatan Kabupaten Bandung. Waktu tempuh Buah Batu-Kertasari sebelum ada Suwadma sebanding dengan waktu tempuh Bandung-Jakarta. Tentu itu dulu. Saat Aang Kusmawan harus turun naik angkutan umum.

Kini setelah ada Suwadma jarak antara Buah Batu-Kertasari dirasanya lebih singkat. Hanya dua jam saja. Tidak harus berdesak-desakan. Tidak ada ngetem. Tidak harus berbagi dengan dus-dus mi instan atau dus rokok milik para pedagang di kendaraan umum.

Menurut Aang, Suwadma mengacu pada nama orang tua di tatar Sunda zaman dahulu. Suwadma, nama yang sezaman dengan Sumarta, Madhapi, Kasjani, Sujai, Iroh, Arniyah, Arna, Jamna, Kariyoh, Juariyah, atau Nasah. Nama-nama yang kini sudah jarang ditemukan. Masih menurut Aang, nama-nama itu kini sudah banyak digantikan dengan nama baru. Digantikan dengan nama-nama baru, semisal: Mega, Maya, Reni, Angel, Ridwan, Dian, Michele, Rama, Bagas, Joni, Hendra, Sultan, atau Alif.

Nama Suwadma disematkan ke motornya sebagai ikhtiar agar tidak lupa kepada asal. Tidak melupakan asal mula. Tidak lupa kepada silsilah keturunan. “Supaya kita tidak menjadi orang-orang yang mengidap amnesia terhadap sejarah para leluhur,” kata Aang.

Suwadma hadir dua tahun sebelum rezim otoriter Orde Baru tumbang. Pada tahun 1996 Suwadma merupakan motor terbaik di kala itu. “Honda Astrea Grand. Mesinnya bandel, bensinnya irit, dan suku cadangnya mudah ditemukan. Motor ini bandel. Enak digunakan di jalan beraspal atau berbatu.” Demikian pengakuan Aang kudengar saat diboncengnya menggunakan Suwadma suatu pagi dari Lembang di Bandung Utara. Dan benar saja saya menikmati dibonceng Aang menggunakan Suwadma.

Honda Astrea Grand tahun 1996 juga digunakan oleh aktivis, pejuang hak asasi manusia: Munir. Motor bebek berplat nomor N 8007 MO. Motor itu yang sering digunakan Munir beraktivitas. Motor tersebut merupakan motor kedua yang dimiliki Munir.

“Motor pertama sempat hilang, tetapi ketika malingnya tahu motor itu milik Munir, motor itu dikembalikan.” Akan tetapi beberapa bulan kemudian, “motor yang sama dicuri lagi dan tak pernah kembali.” Bagaimana reaksi Munir, “Pasti maling ini lebih miskin daripada maling yang sebelumnya,” Demikian kesaksian Rachlan Nashidik—kawan Munir, Direktur Imparsial—dalam tulisannya “Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi” dalam Munir Sebuah Kitab Melawan Lupa (Mizan, Desember 2004).

Selain dikenal sangat jujur, Munir juga dikenal sederhana. Ketika menerima penghargaan “Right Livelihood Award” tahun 2000, ia berhak atas hadiah ratusan juta rupiah. Namun apa yang dilakukannya, “Aku dikenal orang karena penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia,” katanya. “Jadi, aku serahkan uang itu kepada KontraS agar bisa terus membela para korban. Aku minta sedikit saja. Biar aku bisa punya rumah sendiri di Malang.”

Munir juga tak pernah mau merepotkan orang lain. Ketika ginjalnya membangkak ia tak mau dirawat di rumah sakit. Namun setelah dibujuk teman-temannya, akhirnya ia mau dirawat di kamar kelas dua. “Yang penting perawatan dan dokternya,” kata Munir yang pernah dinobatkan sebagai “Man of the Year” oleh Majalah Ummat (1998) itu.

Munir Said Thalib adalah tokoh besar dengan reputasi internasional yang sangat bersahaja. Lahir di Malang pada 8 Desember 1965. Munir memiliki semua sifat yang seharusnya dimiliki oleh pejuang HAM: punya prinsip, tangguh, cerdas, jenaka, dan tak kenal takut.

Munir tak pernah membungkuk apalagi menjilat-jilat penguasa. Ia selalu tegak di hadapan penguasa. Maka ia sempat membuat murka penguasa. Ia menerima ancaman baik verbal maupun fisik. Dari mulai lemparan molotov, dicelakai, disantet, bahkan sampai pembunuhan. Namun ia tidak menyerah.

Penerima penobatan sebagai “Young Leaders for the Millennium in Asia” oleh Majalah Asiaweek (Oktober, 1999) itu kecil saja. Kecil tubuhnya. Dengan tinggi 160 cm minus dan berat kurang dari setengah kuintal, ia mampu membuat marah mereka yang melakukan kekerasan. Munir mengacak-acak konfigurasi elit politik saat itu. Terutama mereka yang senang menghilangkan nyawa orang lain dengan paksa.

Kegiatannya itu dilakukan dengan penuh keberanian. Munir seorang pemberani. Keberanian yang dipupuknya dari kesadaran pribadinya. Dari kemampuannya untuk mengatasi rasa takut itu. Keberanian yang datang dari ketiadaan interes pribadi. Juga dari kesanggupannya mengatasi kebencian dalam berjuang.

Maka pantas Munir menjadi ikon gerakan perlawanan terhadap rezim diktator yang suka menyalahgunakan kekuasaan. Munir mampu menjadi pemersatu yang mengikat gerakan perlawanan. Menjadikannya disegani dan dihormati oleh semua kalangan. Muda, tua, amatir, maupun yang sudah lama berjuang.

Bekal batin yang kuat juga menjadikan Munir pejuang yang simpatik. Tidak sinis. Munir mampu mengatasi sinisme dalam berjuang. Hingga ia selalu optimistis, bahkan di saat ia dan keluarganya menerima banyak ancaman.

Munir, seperti ungkapan Schumacher: Small is beautiful—and brave. Kecil itu tidak hanya bagus, tetapi juga berani. ****

Follow me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *