Museum di Rangkasbitung

Pada minggu terakhir bulan Desember 2016 kamu dipindahkan dari Ciseel Sobang ke Rangkasbitung, Lebak atau Jalan Alun-Alun Timur No. 8, Rangkasbitung. Rangkasbitung berasal dari dua kata Rangkas dan Bitung. Rangkas berarti berguguran atau meranggas, sementara bitung diambil dari nama salah satu jenis bambu. Rangkasbitung berarti bambu yang daunnya meranggas atau berguguran. Rangkasbitung adalah satu dari 28 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lebak. Menurut keterangan salah seorang warga, melalui bambu inilah warga di Kabupaten Lebak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan bambu bitung. Bambu menjadi penolong menuju masa depan yang cerah. Meski tidak semua daerah di Lebak memiliki kebun bambu.

Gedung di Jalan Alun-Alun Timur No. 8, Rangkasbitung menjadi tempat baru. Letaknya tepat di sudut jalan antara Jalan Abdi Negara dan Jalan R. Muryani Nataatmaja. Berhadap-hadapan dengan Masjid Agung Al Araf di sebelah barat Alun-Alun Rangkasbitung. Bangunan bergaya arsitektur kolonial ini dahulu merupakan gedung markas wilayah pertahanan sipil. Bahkan jauh sebelum itu merupakan gedung wedana Rangkasbitung.

Gedung itu terdiri dari tiga bangunan, berbentuk segi empat. Bangunan pertama dan kedua berhubungan langsung sehingga membentuk serupa kepala dan badan. Badan merupakan bangunan utama. Bangunan terakhir merupakan gedung penunjang berbentuk persegi panjang yang terdiri atas kamar-kamar yang bersisian satu sama lainnya. Di salah satu ujung bangunan terdapat pintu gerbang untuk keluar masuk mobil dan tempat penjagaan, di mana terdapat gerbang untuk keluar-masuk orang. Di sisi yang lain terdapat pintu yang dibuka sesekali ketika acara tertentu berlangsung.

Bagian depan bangunan utama yang menyerupai kepala merupakan pendopo. Bayangkan empat atau enam tiang kayu yang ditancapkan di tanah, masing-masing ujung atasnya saling dihubungkan dengan kayu-kayu lain dengan cara dipaku atau diikat, lalu di atasnya diletakkan penutup dari genteng. Bangunan pendopo tanpa dinding, sangat sederhana dan berfungsi sebagai pesanggrahan atau tempat berkumpul. Di tengah-tengah pendopo menggelantung lampu besar. Lantai pendopo terbuat dari keramik bercorak gaya baru sementara tegel aslinya terkubur di bawahnya. Tegel asli dapat dilihat dari kaca tempered di ujung pendopo dekat pintu masuk ke gedung utama. Tegel aslinya berbentuk segi empat berukuran dua puluh kali dua puluh sentimeter dengan corak dan warna merah yang mencolok.

Di samping pendopo terdapat taman dengan rumput dan pohon-pohon kecil dan besar. Pohon besar di samping pagar menghasilkan bunga merah muda, kami menyebutnya pohon ki ambon. Setiap hari daun-daun kecilnya memenuhi taman dan halaman samping pendopo. Di dekat taman berdiri patung Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dari bahan perunggu seberat lima ratus kilogram sedang duduk memegang buku setinggi dua setengah meter. Buku di pangkuannya tampak lebih besar dari tubuh yang memangkunya. Seperti filosofi yang ingin disampaikan bahwa isi kepala berupa pengetahuan sebagai landasan harus lebih besar agar mampu melaksanakan perubahan. Terdapat pula patung Saidjah dan Adinda serta rak buku. Patung Saidjah sedang berdiri mempersilakan pengunjung untuk masuk setinggi dua meter dan Adinda setinggi satu sengetah meter sedang duduk di bangku memandang Multatuli. Luas keseluruhan area patung dua belas kali dua belas meter.

Bangunan utama terdiri dari tujuh ruangan. Lantainya dilapisi vinyl water lock 4 milimeter. Dindingnya ditreatment bahan multiplek dan melamintho. Di ruang pertama terdapat maket bangunan, mozaik wajah Multatuli dari pecahan kaca 8 milimeter berjumlah 314 keping, patung dada, quotes dari idee-idee No. 1 karya Multatuli berbahan akrilik warna merah bertuliskan, “Tugas Manusia ialah Menjadi Manusia,” dan sebuah proyektor yang menyemburkan kata-kata dari novel Max Havelaar yang masyhur. Di ruang kedua terdapat reflika kapal VOC, pala, lada, cengkeh, dan kayu manis, serta sebuah layar besar menampilkan film masuknya kolonialisme ke Nusantara. Di ruang ketiga terdapat kopi dan peta serta koin masa tanam paksa. Ruang empat menampilkan foto dari tokoh penting yang terinspirasi Multatuli, juga surat dan buku-buku, serta novel Max Havelaar (1876) edisi pertama berbahasa Prancis. Ruang lima menampilkan sejarah perlawanan masyarakat Banten melawan penjajahan. Di ruang enam terdapat berbagai informasi seputar Lebak, pakaian Adipati Lebak, tenun Baduy, dan sebuah reflika Situs Cidanghyang. Di ruang terakhir, ruang tujuh terdapat foto dan informasi orang-orang yang pernah tinggal atau terinspirasi oleh Lebak dan Rangkasbitung, motif batik, buku-buku Max Havelaar berbagai edisi, dan suara penyair WS Renda membacakan puisi Demi Orang-Orang Rangkasbitung yang sajaknya tertulis di dinding.

Barang yang paling unik di bangunan utama terdapat di ruang empat adalah tegel bekas Rumah Multatuli. Tegel ini, yang berwarna abu-abu berbentuk segi enam didapatkan dari Perkumpulan Multatuli, Museum Multatuli di Amsterdam bulan April 2016. Di sekitar tahun 1980an datang ke Rangkasbitung sekelompok wartawan dari Belanda. Mereka membuat liputan tentang Multatuli. Bersamaan dengan kedatangan mereka, bekas rumah Multatuli sedang direnovasi. Tegel-tegel rumahnya berserakan. Maka inisiatif para pewarta tersebut meminta izin kepada pengelola bangunan untuk membawa tegel bekas. Salah seorang dari mereka kemudian menyerahkan tegel tersebut kepada Museum Multatuli.

Antara bangunan utama dan bangunan penunjang terdapat ruang kosong yang cukup luas sehingga dapat digunakan untuk duduk-duduk dan merupakan teras belakang dan taman kecil dengan bunga-bunga dan lantai keramik bercorak. Di langit-langit teras belakang menggelantung lampu besar. Di bangunan penunjang terdapat ruang kontrol dan ruang pegawai serta toilet. Di ujung gedung penunjang terdapat gudang tempat menyimpan peralatan. Di bagian belakang ruang penunjang terdapat tanah kosong yang ditanami beragam bunga dan apotek hidup seperti kencur, kunyit, dan cabe. Terdapat pula pohon jambu bool yang tepat bersisian dengan tangki air. 

Telefon genggam kamu berbunyi keras ketika kamu hendak membuka pintu rumah di akhir bulan Desember tahun 2016. Suara di seberang telefon meminta kamu untuk mengelola museum yang baru saja selesai direnovasi. Suara itu awalnya asing bagi kamu. Tapi kemudian kamu tahu bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak yang menghubungimu itu. Kamu menyanggupinya. Setelah itu, usaha-usaha mempersiapkan serta mengisi bangunan kosong Bekas Wedana Rangkasbitung itu kamu kerjakan. Satu tahun dua bulan sebelas hari kamu bekerja mempersiapkannya. Tepat tanggal 11 Februari 2018 bangunan itu dibuka untuk umum. Bangunan itu kemudian dikenal dengan nama Museum Multatuli.

Jauh sebelum itu kamu membangun rumah kecil di atas bukit di suatu kampung terpencil. Berjarak 50 kilometer dari Rangkasbitung. Rumah kecil di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten yang tidak teraliri listrik saat itu kamu namakan Taman Baca Multatuli. Anak-anak di kampung terpencil tanpa listrik dan sinyal telefon itu kamu ajak untuk membaca secara pelan dalam format reading group sebuah novel masyhur karya pengarang terkenal kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820. Novel itu Max Havelaar. Itulah awal mula kamu mengaji setiap Selasa sore sejak 23 Maret 2010 secara pelan dan sungguh-sungguh. Bentuk membaca pelan itu kamu dapat dari Zurich di mana novel Ulysses karya James Joyce dibaca pelan di sana. Melalui reading group Max Havelaar kamu mengajak mereka mengenal sejarah kota dan tempat kelahiran mereka melalui karya sastra. Di saat kamu mengajak mengaji anak-anak di kampung terpencil itu kamu juga menginisasi sebuah museum bersama tiga kawan lain. Dari Taman Baca Multatuli ke Museum Multatuli.

Rangkasbitung, 2 Januari 2024

Follow me!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *