SALIM KANCIL DAN AYAH SAIDJAH

Salim mati dibunuh di Lumajang. Di Lumajang, ia menolak penambangan pasir besi yang merusak lingkungan. Lalu ia menjadi seorang yang berani menentang kebijakan yang merugikan. Salim mati dibunuh dengan kejam setelah berjuang mempertahankan haknya. Juga hak orang lain di wilayahnya. Salim ingin lingkungannya tidak dirusak. Salim membayangkan, laut dan hutan serta pertanian tempat mereka tinggal tetap terjaga dan tidak rusak. Sebelum meninggal, waktu itu, ia sedang menggendong cucunya, 5 tahun umurnya. Salim diseret ke balai desa.
Percayalah, Salim telah berjuang sekuat-kuatnya. Teror dan ancaman, cukup untuk membuat orang gentar dan menyerahkan keberanian, tapi Salim tidak. Ia bawa keberanian hingga kematiannya. Juga ada nilai dari perjuangan yang dilakukannya dengan keberanian berbalut jiwa manusia dalam perjuangannya. Dan, pantang menyerah, ia tak pernah mengangkat tangannya. Memang jiwanya tak terselamatkan, tapi dia begitu tangguh. Salim mati dibunuh di Lumajang.
Salim sedang di depan rumah pagi itu. Cucunya yang digendongnya diturunkannya dan didudukkan di lantai. Para pembunuh itu, mengikat tangan Salim dengan tali tampar lalu menyeretnya sejauh 2 km ke balai desa. Warga di kampungnya juga anak-anak PAUD menyaksikan Salim diseret dengan tangan terikat. Tapi warga bisa berbuat apa sebab ketakutan melebihi keberanian.
Sepanjang jalan warga menyaksikan Salim diseret. Warga tidak berdaya, yang diingat, didengar, dibayangkan dan dirasakannya hanyalah ketakutan. Padahal sikap tidak berdaya menyuburkan ketidakadilan. Perasaan yang ada hanyalah ketakutan. Sikap daya telah ditindih ketakutan. Suara-suara Salim yang diseret ke balai desa itu tak pernah didengarnya. Suara yang didengarnya adalah ketakberdayaan.
Tapi, Salim ternyata tidak gentar. Tidak takut. Sebab ia seorang yang berani dan kukuh. Di Balai Desa Selok Awar-Awar yang dikenalinya itu, ia kehilangan nyawanya. Balai desa itu telah menjadi tempat pembunuhan. Salim dipukul dan disetrum listrik. Para penjahat bayaran pertambangan pasir itu lalu mengambil gergaji. Salim digergaji lehernya. Kesewenan-wenangan telah merampas nyawa Salim. Salim dibunuh sebab melawan kesewenang-wenangan penambang pasir besi. Lalu jasadnya, dibuang di pintu pekuburan setelah terlebih dahulu kepalanya ditimpuk batu besar.
Seorang petani seperti Salim bisa mempunyai jejak yang panjang. Hari itu, di ruang balai desa, Sabtu (26/9/2015), Salim Kancil (52 tahun) warga Krajan II dibunuh karena menolak tambang pasir di Pantai Watu Pecak. Dia kurus, pakaiannya sederhana, tapi lebih penting lagi: Ia kukuh bertahan melakukan penolakan secara terbuka. Meskipun Salim telah tiada, namun jejaknya tak akan pernah mati-mati selama-lamanya.
Petani kurus berpakaian sederhana itu mengingatkan kita pada Ayah Saidjah. Ayah Saidjah ditangkap polisi Lebak sebab ia tidak membawa pas waktu pergi ke Bogor. Ayah Saidjah meninggalkan Lebak sebab ia tidak berdaya menghadapi kekejaman Adipati Lebak. Tiga ekor kerbaunya habis dirampok menantu Adipati. Ayah Saidjah yang miskin bersedih hati dan takut anak-anaknya tak dapat makan. Tapi lebih-lebih ibunya. Harta pusakanya telah habis dijual dan ia takut sekali dihukum jika tidak membayar pajak. Tanah Bogor tak pernah sampai ditujunya.
Ayah Saidjah dibawa kembali ke Badur dengan tangan terikat. Tubunya yang ringkih makin payah setelah dihajar dengan rotan. Ayah Saidjah dimasukkan ke dalam penjara meski tidak lama sebab ia mati di sana.
Ayah Saidjah telah lama meninggal. Tapi rasanya kematiannya baru saja terjadi. Ayah Saidjah yang miskin tidak dapat melawan. Nyawanya direbut paksa kekejaman penguasa Lebak. Setelah sebelumnya tiga ekor kerbau yang digunakannya untuk mengerjakan sawah dirampok menantu Adipati. Ayah Saidjah bersedih hati. Ia tidak berkata sepatah kata, berhari-hari lamanya. Ia khawatir sebab musim membajak segera tiba dan ia akan terlambat mengolah tanah. Jika waktu membajak terlambat, maka waktu menyemaipun akan lewat, dan akhirnya tidak ada padi yang akan dipotong untuk disimpan di dalam lumbung. Ayah Saidjah tidak perlu khawatir lagi. Ia telah tiada.
Ayah Saidjah dicambuk dengan rotan, tangannya diikat, dan disimpan di dalam penjara. Salim Kancil diikat tangannya, diseret ke balai desa, dipukul, disetrum, digergaji lehernya, dan kepalanya ditimpuk batu besar. Ayah Saidjah dan Salim Kancil tewas dibunuh. Kekuasaan dan modal telah merenggut nyawa mereka. Penguasa Lebak membunuh Ayah Saidjah. Preman bayaran pertambangan pasir besi di Lumajang telah membuhun Salim Kancil. Penyair WS Rendra menulis puisi “Kesaksian Bapak Saidjah” yang mengingatkan bagaimana mesin kuasa dan modal telah bekerja sama membunuh rakyat miskin. Ayah Saidjah dan Salim Kancil tak pernah mengangkat tangan, telah tumbuh kesadaran di dalam jiwanya. Kekuasaan ketar-ketir, sebab kesadaran dianggap tantangan kekuasaan.
Ketika mereka bacok leherku,
dan parang menghunjam ke tubuhku berulang kali,
kemudian mereka rampas kerbauku,
aku agak heran
bahwa tubuhku mengucurkan darah.
Sebetulnya sebelum mereka bunuh
sudah lama aku mati.
Hidup tanpa pilihan
menjadi rakyat Sang Adipati
bagaikan hidup tanpa kesadaran,
sebab kesadaran dianggap tantangan kekuasaan.
Hidup tanpa daya
sebab daya ditindih ketakutan.
Setiap hari seperti mati berulang kali.
Setiap saat berharap menjadi semut
agar bisa tidak kelihatan.
Sekarang setelah mati
baru aku menyadari
bahwa ketakutan membantu penindasan,
dan sikap tidak berdaya
menyuburkan ketidakadilan.
Aku sesali tatanan hidup
yang mengurung rakyat sehingga tak berdaya.
Meski tahu akan dihukum tanpa dosa,
meski merasa akan dibunuh semena-mena,
sampai saat badan meregang melepas nyawa,
aku tak pernah mengangkat tangan
untuk menangkis atau melawan.
Pikiran dan batin
tidak berani angkat suara
karena tidak punya kata-kata.
Baru sekarang setelah mati
aku sadar ingin bicara
memberikan kesaksian.
O, gunung dan lembah tanah Jawa!
Apakah kamu surga atau kuburan raya?
O, tanah Jawa,
bunda yang bunting senantiasa,
ternyata para putramu
tak mampu membelamu.
O, kali yang membawa kesuburan,
akhirnya samudera menampung air mata.
panen yang berlimpah setiap tahun
bukanlah rezeki petani yang menanamnya.
O, para Adipati Tanah Jawa!
Tatanan hidup yang kalian tegakkan
ternyata menjadi tatanan kemandulan.
Tatanan yang tak mampu mencerdaskan bangsa.
Akhirnya kita dijajah oleh Belanda.
Hidup tanpa pilihan
adalah hidup penuh sesalan.
Rasa putus asa
menjadi bara dendam.
Dendam yang tidak berdaya
membusukkan kehidupan
Apa yang seharusnya diucapkan
tidak menemukan kata-kata.
Apa yang seharusnya dilakukan
tidak mendapat dorongannya.
Kesaksian ini
kesaksian orang mati
yang terlambat diucapkan.
Hendaknya ia menjadi batu nisan
bagi mayatku yang dianggap hilang
karena ditendang ke dalam jurang
(Depok, 17 Januari 1991)